Beranda | Artikel
Dalil Keistimewaan Ilmu
4 hari lalu

Bersama Pemateri :
Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah

Dalil Keistimewaan Ilmu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 17 Rabiul Awal 1446 H / 21 September 2024 M.

Kajian Islam Tentang Dalil Keistimewaan Ilmu

Kajian ini membahas dalil yang menunjukkan keistimewaan ilmu. Akan disebutkan beberapa ayat Al-Qur’an, sekitar tujuh ayat, kemudian sekitar tiga belas hadits. Setelah itu, pada pertemuan berikutnya, akan dibahas beberapa perkataan ulama.

Salah satu hal yang menjadi ciri khas para ulama terdahulu, yang jarang ditemukan di zaman ini dan seharusnya kita teladani, adalah bagaimana mereka mengagungkan wahyu, baik itu Al-Qur’an maupun hadits. Hal ini bisa jadi merupakan sebab kenapa ilmu mereka begitu berkah. Perkataan mereka singkat, tetapi memiliki makna yang luas dan mendalam. Sedangkan menurut Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Fadhlu ‘Ilmi as-Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, perkataan orang-orang zaman sekarang sering kali panjang namun maknanya ringkas.

Kita bisa melihat bagaimana para sahabat ketika mendengar satu ayat, mereka merasa seolah-olah ayat tersebut ditujukan langsung kepada mereka. Jika ayat tersebut berupa teguran, mereka khawatir teguran itu mengenai mereka. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa ketika turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat [49]: 2)

Para ulama mengambil kesimpulan bahwa jika berbicara dengan suara keras saja bisa menggugurkan pahala, bagaimana jika seseorang lancang berbicara tentang sunnah tanpa tahu ilmunya? Berbicara tentang agama tanpa memahami dalil-dalilnya sangatlah berbahaya.

Ada seorang sahabat Nabi, Tsabit bin Qais, yang dikenal memiliki suara keras dan lantang. Ia sering menjadi khatib di kalangan Anshar. Setelah ayat ini turun, Tsabit bin Qais menghilang. Dalam riwayat Shahih Bukhari, dikisahkan bahwa para sahabat bertanya-tanya ke mana Tsabit pergi. Salah seorang pembesar kaum Anshar, Sa’id bin Mu’adz, mengatakan bahwa Tsabit tidak sakit. Namun, dalam riwayat lain disebutkan bahwa seorang sahabat mendatangi Tsabit dan menemukannya menangis dengan kepala tertunduk.

Tsabit berkata, “Yang aku hadapi sekarang adalah keburukan. Orang yang kalian kenal dengan suara keras ini adalah aku. Suaraku lebih keras daripada suara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Amalku hancur, aku penghuni neraka.” Tsabit sangat bersedih karena merasa ayat tersebut ditujukan kepadanya. Bahkan dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa ia mengunci diri di kandang kuda karena merasa dirinya telah menjadi penghuni neraka.

Berita ini dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka beliau bersabda, “Kamu bukan penghuni neraka, kamu adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari)

Ini adalah salah satu keistimewaan para sahabat, yang sangat berhati-hati dan merasa seolah-olah setiap ayat Al-Qur’an langsung berkenaan dengan mereka.

Maka ini yang kita kadang-kadang merasa kurang. Dalil berkali-kali baca. Akan tapi ternyata kita kurang meresapi karena memang pengagungan itu kurang. Dan kalau orang yang berilmu kurang mengagungkan yang dia pelajari, maka siapa yang kita harapkan akan mengagungkan ilmu itu?

Dalil yang Menunjukkan Keistimewaan Ilmu

Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Mujadilah:

…يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ…

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa para ulama lebih tinggi derajatnya di tengah orang-orang beriman biasa, hingga tujuh ratus kali lipat. Di antara satu derajat dengan derajat berikutnya ada jarak seratus tahun. Namun, pernyataan seperti ini membutuhkan dalil dan sanad yang jelas. Pertama, perlu dipastikan apakah benar ini perkataan dari Ibnu Abbas. Kedua, apakah beliau menyampaikan hal ini berdasarkan hadits atau Israiliyat. Sebab, ada kemungkinan ini berasal dari Israiliyat, karena beberapa sahabat belajar dari ahlulkitab yang masuk Islam, seperti Ka’ab al-Ahbar.

Ibnu Abbas dan Abu Hurairah sering berkumpul dengan mereka, sehingga terkadang yang seperti ini bisa diambil dari mereka. Namun yang jelas, Allah akan meninggikan derajat orang yang belajar.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an, Allah tidak pernah menunjukkan pengangkatan level kecuali pada dua hal: iman dan ilmu. Ini menunjukkan bahwa untuk ditinggikan derajatnya, seseorang harus memiliki iman dan ilmu.

Al-Qur’an banyak menyebutkan hal ini, seperti dalam firman Allah:

… نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“Kita angkatkan beberapa tingkatan yang sesuai dengan kehendak Kami, diatas setiap orang yang berilmu, ada lagi yang lebih mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76)

Zaid bin Aslam rahimahullah menafsirkan bahwa ketika Allah berfirman tentang perbedaan tingkatan, maksudnya adalah diangkat dengan ilmu.

Dalil kedua, firman Allah dalam surah Ali Imran:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ…

“Allah mempersaksikan bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia, begitu pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu…” (QS. Ali Imran [3]: 18)

Ini adalah sebuah kehormatan bagi orang yang berilmu. Mereka disandingkan dengan malaikat dan bahkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam persaksian terhadap tauhid. Dan memang kita melihat, orang-orang yang berilmu memiliki perhatian besar terhadap tauhid. Sementara, orang yang meremehkan tauhid menunjukkan bahwa ilmunya masih sangat rendah. Tauhid merupakan kebutuhan setiap orang yang beriman, bukan hanya spesifikasi keilmuan bagi sebagian individu.

Betul, tidak semua orang tahu secara mendetail tentang dalil-dalil atau masalah-masalah tertentu seperti perbedaan pendapat ulama mengenai adzab kubur apakah roh dan jasad tersiksa bersama, atau hanya jasad saja, serta di mana posisi roh orang-orang beriman. Tidak semua orang memahami hal ini. Namun, masalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dan menjauhi kesyirikan, adalah kebutuhan setiap orang beriman.

Lalu apa mungkin seorang Dai berkata, “Afwan, saya tidak ahli dalam menyampaikan tauhid, keahlian saya dalam menyampaikan cerita atau akhlak.” Betul tidak masalah jika dia tidak menyampaikan itu. Namun, jika seseorang merasa tidak layak menyampaikan tauhid karena tidak ahli, berarti belum saatnya ia berdakwah. Sebab, tauhid adalah kebutuhan yang paling mendasar. Allah memuji orang-orang berilmu yang bertauhid.

Dalil ketiga, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Az-Zumar:

… قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ…

“Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?`” (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ayat ini menyatakan bahwa orang yang berilmu tidak sama dengan orang yang tidak berilmu. Pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban, karena jawabannya sudah jelas, mau tidak mau semua orang mengakuinya.

Dalil keempat, yang berkaitan dengan ilmu adalah firman Allah dalam surah An-Nahl:

…فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mengerti tentang dzikir jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]: 43)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa “dzikir” bisa dimaknai dengan dua arti. Pertama, dzikir diartikan sebagai Lauh al-Mahfuz, sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

“Dan sungguh, Kami telah menulis dalam Zabur setelah (tertulis) di Lauh al-Mahfuz, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.” (QS. Al-Anbiya [21]: 105)

Kedua, dzikir dapat diartikan sebagai Al-Qur’an dan dalil. Sebagaimana firman Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Ad-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Para ulama menjelaskan bahwa dzikir di sini juga mencakup hadits. Tidak mungkin mempelajari “dzikr” yang diartikan Al-Qur’an tanpa hadits, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umatnya. Sebagaimana firman Allah:

… وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ…

“Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An-Nahl [16]: 44)

Ayat di atas juga menegaskan bahwa ahli dzikir adalah mereka yang mengenal Al-Qur’an dan maknanya. Maka, ketika beramal, seseorang tidak harus hafal dalil, tetapi penting untuk mengetahui bahwa amal tersebut berlandaskan pada dalil yang shahih.

Dalil kelima adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

…وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

“Dan tidak ada yang memahami perumpamaan-perumpamaan itu kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 43)

Sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa semua perumpamaan yang dibuat-Nya adalah untuk manusia agar mereka mengambil pelajaran, memahami, dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Namun, hanya orang-orang yang berilmu yang mampu memahami perumpamaan-perumpamaan tersebut. Ini menunjukkan pentingnya ilmu dalam memahami wahyu dan ajaran-ajaran Allah.

Jika kita merasa ada kekurangan dalam pemahaman, maka solusinya adalah bertanya kepada orang yang lebih mengetahui. Ilmu merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga belajar menjadi keharusan bagi setiap orang yang ingin memahami agama dengan benar.

Dalil keenam, disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah bukti-bukti dan petunjuk yang tersimpan dalam hati orang-orang yang berilmu. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ…

“Sebenarnya, (Al-Qur’an) itu adalah bukti-bukti yang jelas yang terdapat dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Ankabut [29]: 49)

Ayat ini menunjukkan keistimewaan orang berilmu, ketika dada mereka menjadi tempat bersemayamnya dalil. Menurut para ulama, ayat ini berkaitan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah menyatakan bahwa Nabi tidak pernah menulis sebelumnya, tidak pula membaca dari kitab-kitab terdahulu. Ini membuktikan bahwa Al-Qur’an yang disampaikan beliau adalah wahyu asli, bukan buatan manusia, karena beliau tidak bisa menulis maupun membaca.

Para ulama menjelaskan bahwa walaupun ayat ini secara langsung berhubungan dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setiap orang berilmu juga termasuk dalam pembahasan ini.

Dalam penjelasan lebih lanjut, ayat ini menyebut bahwa dada adalah tempat penyimpanan dalil. Akan tetapi, dalil tersebut tidak bisa bercokol di setiap dada, hanya pada dada orang-orang yang berilmu dan bersih. Ada ungkapan dari salah satu ulama yang menyatakan bahwa cahaya dari Allah tidak akan masuk ke hati yang kotor atau ada sesuatu yang dibenci Allah di dalamnya. Ini menegaskan bahwa menguasai ilmu bukan hanya sekadar hafalan, tetapi juga bagaimana seseorang dapat memasukkan ilmu itu ke dalam hati sehingga bermanfaat.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54501-dalil-keistimewaan-ilmu/